Kamis, 7/03/2025 09:55:00 AM WIB
HeadlineOrganisasipemerintah

BK DPRD Kuningan Disorot, Publik Minta Tegas Usut Dugaan Pelanggaran Etik.

Advertisment

Faried Arief, pendiri Aliansi Persaudaraan Islam Kuningan (APIK), menilai BK DPRD Kuningan tidak boleh tunduk pada tekanan elite partai dalam menangani pelanggaran etika.


KUNINGAN, (BK). —

Badan Kehormatan (BK) DPRD Kuningan kembali menjadi sorotan publik. Lembaga yang dibentuk untuk menjaga marwah dan etika anggota dewan ini dinilai lamban dan tidak transparan dalam menangani sejumlah laporan dugaan pelanggaran kode etik.

Setelah kasus R berhasil diselesaikan tahun lalu hingga berujung pada Pergantian Antar Waktu (PAW), BK sempat menuai pujian. Namun kini, kasus baru yang menyeret nama inisial T dan menyeruaknya kembali kasus lama inisial S menimbulkan pertanyaan besar. Keduanya dinilai berkaitan dengan relasi kuasa dan persoalan etika terhadap perempuan.

Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat menyuarakan kekecewaannya terhadap sikap BK yang terkesan diam. Salah satunya datang dari Faried Arief, aktivis dan pendiri Aliansi Persaudaraan Islam Kuningan (APIK).

"Kami tidak mempermasalahkan status nikah siri. Tapi kami mengecam sikap pejabat publik yang mempermainkan martabat perempuan lalu berlindung di balik kemasan agama," kata Faried kepada Bokor Kuningan, Kamis (3/7/2025).

Ia menilai, BK seharusnya tidak takut dengan tekanan partai politik, apalagi jika sudah menyangkut moral dan etika publik.

"Kalau yang dilaporkan dari partai besar, kenapa lambat? BK itu harus berdiri independen. Jangan jadi alat kekuasaan," ujarnya.

Desakan Transparansi Meningkat

Faried menilai publik kini tidak lagi pasif. Ia mengatakan, masyarakat menuntut transparansi, bukan sekadar keputusan yang diumumkan mendadak.

"Jangan nunggu viral atau desakan publik dulu baru bertindak. Semua tahapan dari laporan masuk, klarifikasi, sampai keputusan BK harus diumumkan terbuka. Kalau tidak, ya siap saja kehilangan kepercayaan rakyat," katanya.

Menurut Faried, dalam era media sosial seperti sekarang, sikap diam justru bisa menjadi bumerang bagi lembaga.

Bukan Soal Privat, Tapi Etika Publik


Faried menegaskan, masyarakat tidak sedang mengadili kehidupan pribadi anggota dewan. Tapi, menurutnya, ketika seorang pejabat mempermainkan relasi dengan perempuan, apalagi dalam posisi berkuasa, maka itu masuk wilayah etika publik.

"Sejak dilantik, anggota dewan itu bukan lagi milik pribadi atau partai. Mereka milik rakyat. Etika dan tanggung jawabnya harus dijaga," tegasnya.

Partai Politik Diminta Turut Bertanggung Jawab

Dalam pandangannya, bukan hanya BK yang perlu ditekan untuk bersikap tegas, tapi juga partai politik. Faried mengatakan, partai harus menindak kader yang mencoreng nama lembaga, bukan malah melindunginya demi elektabilitas.

"Kalau partai diam, ya berarti ikut melegalkan pelanggaran moral. DPRD bukan tempat bermain-main," katanya.

Masyarakat Sudah Tak Bisa Dibohongi

Faried menilai saat ini masyarakat sudah cerdas secara politik dan tidak akan diam melihat pelanggaran etik ditangani setengah hati.

"Kalau BK tetap diam, sejarah yang akan mencatat. Ketika rakyat menaruh harapan, mereka malah takut dan bungkam," pungkasnya. (Aldiyana/BK)