Advertisment
KUNINGAN, (BK) —
Penutupan sejumlah Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPSS) oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kuningan, khususnya di kawasan padat penduduk seperti Kelurahan Purwawinangun, memicu krisis lingkungan yang kian memburuk.
Alih-alih menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah, kebijakan ini justru mendorong warga kembali membuang limbah langsung ke sungai. Sungai Cimarilit dan Citamba kini dipenuhi sampah rumah tangga, plastik sekali pakai, hingga kotoran hewan dari wilayah peternakan Cipari. Bau menyengat menyelimuti permukiman, dan air sungai berubah menjadi media penyebaran penyakit.
Warga yang sebelumnya memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, kini hidup dalam kekhawatiran terhadap ancaman infeksi kulit, gangguan pencernaan, hingga penyakit menular berbasis air.
Ketua Karang Taruna Gema Purwa, Oki Rahmania, mengecam keras kebijakan sepihak ini. Ia menyebut penutupan TPSS tanpa solusi alternatif sebagai bentuk kelalaian pemerintah.
“Ini bukan hanya soal sampah, tapi soal keselamatan warga. Negara tidak bisa berlindung di balik alasan estetika kota dan menutup mata atas kenyataan di lapangan,” tegas Oki.
Menurutnya, tiga hingga lima unit gerobak motor pengangkut sampah yang disediakan untuk 57 RT di Purwawinangun jelas tidak memadai. Akibatnya, sebagian warga memilih membuang sampah ke sungai atau lahan kosong.
“Lingkungan kami menjadi korban dari kegagalan birokrasi. DLH seolah hanya ingin kota terlihat bersih dari luar, tapi membiarkan racun mengalir di bawah permukaan,” ujarnya
Situasi ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan, dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah daerah diwajibkan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan ramah lingkungan.
Namun faktanya, ketika TPSS ditutup, alternatif yang layak tak kunjung disiapkan. Satu-satunya TPS yang masih berfungsi di Jalan Ir. Soekarno pun kini kewalahan menampung sampah dari berbagai wilayah, termasuk permukiman baru dan deretan rumah makan. Dibangun secara swadaya oleh warga, kondisi TPS ini sudah kelebihan kapasitas dan berpotensi menimbulkan longsoran sampah, gangguan lalu lintas, dan pencemaran udara.
Karang Taruna Gema Purwa bersama warga mendesak Pemkab Kuningan meninjau ulang kebijakan penutupan TPSS dan segera menyusun sistem pengelolaan sampah yang lebih realistis dan berpihak pada masyarakat.
Beberapa usulan yang mereka sampaikan antara lain pembangunan TPSS terpadu dengan sistem pemilahan modern, penambahan armada pengangkut, serta edukasi masyarakat tentang pola hidup bersih dan pengelolaan sampah.
“Kalau pemerintah tidak sanggup menyelesaikan masalah sampah, jangan justru menyalahkan warga. Kami siap bekerja sama, tapi jangan abaikan suara kami. Kota ini tidak akan bersih jika lingkungannya dibiarkan sakit,” tutup Oki.
Masyarakat punya hak untuk hidup di lingkungan yang sehat, bukan sekadar lingkungan yang tampak rapi dari kejauhan. Tanpa langkah konkret, krisis sampah ini bisa menjadi bom waktu ekologis yang meledak di tengah jantung Kota Kuningan. (Al/BK).